Minggu, 17 Maret 2019

Refleksi Review PKM 2019


Review Nasional PKM 2019

Made Pramono[1]

Jika rata-rata setiap reviewer mereview 160 judul PKM tahun 2019 ini, maka boleh kita berharap terpenuhinya ramalan ilmiah Indonesia Emas 2035. Bonus demografi yang menjanjikan jika ide-ide kreatif brilian bermunculan disertai kapasitas fasilitas yang optimum dari pemerintah dan/atau swasta. Kedigdayaan Indonesia memasuki Revolusi Industri 4.0 juga bisa terus dikerek hingga merah putih bertengger di Puncak Kejayaan kelas dunia, mengingat di antara ribuan PKM yang menumpuk di situs simbelmawa.ristekdikti.go.id  sejak awal tahun ini, banyak yang mengangkat tema link and match dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri (termasuk sekolah, rumah sakit) yang menggunakan informasi, teknologi, dan komunikasi sebagai penghantarnya.

Asumsi bahwa ide-ide PKM adalah kreatif, seyogyanya juga diiringi pendampingan yang kreatif pula. Tidak hanya pendampingan program secara nasional oleh pemerintah khususnya belmawa (penyelenggaraan sosialisasi, monev, evaluasi), tetapi di tingkat sel pendampingan oleh alumni PIMNAS kepada adik-adiknya, dosen kepada tim bimbingannya, unit-unit di kampus terhadap dosen (calon) pembimbing dan mahasiswanya, serta koordinasi harmonis bidang penalaran dengan bidang-bidang yang lain di kampus (misalnya dengan bidang tata usaha terkait persuratan untuk kelancaran penugasan dosen).

Terlepas dari permasalahan persyaratan administratif yang masih cukup banyak di evaluasi tahap I, kecermatan reviewer diandalkan untuk memilah ide-ide orisinal kreatif dari ide-ide usang dan apalagi “ide-ide plagiasi”. Kecermatan ini terimplementasikan betul di Evaluasi Tahap 2 dengan penekanan pada karakteristik skim masing-masing yang meskipun tentu berbeda antar 1 skim dengan skim lainnya, tetapi rohnya tetap satu: kreativitas.

Tulisan berikut membatasi eksplorasi kata-kata kunci PKM, meliputi:
1. Persyaratan administratif
2. Ide kreatif

Penulis tidak menyajikan data-data nasional, melainkan lebih mengangkat “pengalaman” individual, untuk perspektif terhadap “kondisi” PKM yang bisa jadi juga berbeda dengan belmawa atau reviewer lain.

Persyaratan Administratif: Kunci Pembuka
Tulisan ini tidak membicarakan kondisi dosen, tetapi khusus PKM bagi mahasiswa. Keduanya terhubung sebagai sistem yang bersinergis, tetapi limitasi tulisan ini hanya fokus pada implementasi di dunia mahasiswa.
Semua mahasiswa PKM setara. Secara terbuka penulis kurang setuju dengan asumsi itu dalam hal keteraksesan mereka terhadap informasi, peluang, dan perlakuan yang memang berbeda. Tidak hanya tentang Sumatera dan Papua, tetapi ini bisa terjadi dalam satu kampus antar Prodi. Prodi yang satu menonjol dan langganan banyak mengirim PKM, sementara Prodi yang lain nol (sekalipun PT berada di Jawa sebagai pusat negara).

Artinya, mahasiswa secara nasional memang berkesempatan dan berpeluang sama untuk menuai prestasi dalam PKM dan PIMNAS. Apalagi sistem daring yang dapat diakses secara mudah oleh mahasiswa yang diselenggarakan secara profesional dan kuat oleh tim IT belmawa. Meskipun demikian, persepsi dan motivasi tidak bisa dipastikan didapat secara sama oleh setiap PT, dan tentu juga oleh Prodi. Sosialisasi, koordinasi, dan penyamaan persepsi yang diselenggarakan Belmawa selama ini tentu sangat membantu mengurangi “jurang” ketidaksamaan itu. Tetapi karakter institusi mahasiswa juga mempengaruhi motivasi mahasiswa dalam menulis karya ilmiah dan dengan demikian juga persepsi terhadap PKM. Implementasi pendampingan di tahap unit-unit kecil di mana mahasiswa berada, juga berpengaruh.

Alhasil, sampai tahun ini upaya sosialisasi, penyamaan persepsi, atau evaluasi oleh Belmawa dan tindak lanjutnya berupa kebijakan, pendampingan, dan evaluasi oleh PT masih terus relevan untuk digelar. Salah satu fenomana yangmelatarbelakangi kegayutan acara-acara semacam itu adalah masih cukup banyak ide-ide kreatif mahasiswa yang “gagal sebelum memasuki marwah PKM”, dikarenakan ketidakcermatannya mahasiswa terhadap persyaratan administratif.

Belmawa melalui panduan PKM selalu menonjolkan informasi tentang “kunci pembuka” berupa lolos persyaratan administratif itu. Bahkan sejak dua tahun kemarin sudah ada mekanisme penyeleksian PKM terkait persyaratan administratif oleh internal PT. Di level nasional, juga ada tahapan khusus seleksi syarat administratif ini sebelum diseleksi tahap berikutnya hingga PIMNAS. Tidak ada kesalahan administratif sama sekali ketika PKM sudah sampai dikompetisikan di PIMNAS.

Memang “menggemaskan” bagi penulis ketika reviewer harus menggugurkan PKM (yang bisa jadi idenya orisinil dan kreatif) karena permasalahan scan atau crop tanda tangan yang menyalahi ketentuan (yang boleh jadi bukan dimaksudkan mahasiswa untuk curang). Reviewer perlu memahami hal-hal administratif seperti itu sebagai satu rangkaian dengan maksud “kreativitas” dari PKM. Kreativitas ilmiah berarti termasuk dilihat dari eliminasi kesalahan administratif.

Tidak hanya masalah tanda tangan, persoalan seperti tidak sesuainya jadual dan jumlah dana yang diusulkan di lembar pengesahan dengan rincian jadual dan total dana yang tertera di justifikasi anggaran bisa menggugurkan PKM. Ini menunjukkan kekurangtelitian mahasiswa yang cukup fatal sehingga menghasilkan nilai yang minimum di Evaluasi tahap I. Tetapi tidak melulu mahasiswa, dosen pembimbing juga terkadang bisa menggugurkan PKM bimbingannya karena – yang paling menonjol – riwayat hidup dosen tertulis diperuntukkan dalam rangka hibah penelitian dosen atau untuk skim PKM yang berbeda. Dengan demikian, upaya ide-ide kreasi ilmiah gugur bukan hanya karena mahasiswa, tetapi juga karena dosen pembimbingnya.
Bagaimana dengan sistem? Di antara dua pilihan antara tidak perlunya Tim Belmawa membuatkan semacam “template” daring agar kesalahan-kesalahan baik dari mahasiswa maupun dosen pembimbingnya tersebut bisa dieliminasi, ataukah perlunya “template”, penulis lebih setuju jika Tim Belmawa membentuk tim khusus melibatkan reviewer untuk membuat “template” yang accessible dalam rangka meminimalisir kesalahan administratif bagi ide PKM yang sebenarnya kreatif, orisinil, dan berguna untuk masyarakat saat ini dan nanti. Bahkan secara “ekstrim”, penulis membayangkan sistem terintegrasi di mana mahasiswa (dan dosen pembimbing) hanya tinggal memasukkan semua bagian naskah PKM secara terpisah dan daring. Misalnya ada kolom untuk halaman judul, kolom metode penelitian atau pelaksanaan, kolom untuk daftar pustaka dan kolom untuk lampiran sesuai skim di Simbelmawa.

“Template” ini harapan penulis bukan dilihat sebagai memanjakan mahasiswa, tetapi sebaiknya lebih dilihat sebagai upaya menonjolkan huruf “K” dalam “PKM”, yakni kreativitas dan meminimalisir upaya “pembersihan” kesalahan administratif seperti upaya berupa monev internal khusus persyaratan administratif atau evaluasi tahap I.  Memang dibutuhkan Tim IT yang handal, database yang kuat dan besar, serta akses jaringan yang lebih leluasa. Reviewer dengan “template” ini bisa fokus ke tulisan dan ide mahasiswa.

Kreatif dan Payungnya

Beberapa kali penulis mengikuti PIMNAS (pertama kali tahun 2010), sebagai dosen pembimbing maupun sebagai Tim Penalaran di Unesa. Salah satu pemikiran yang selalu muncul setelah menyaksikan perhelatan PIMNAS dengan berbagai ide kreatif yang bagus, hebat, dan futuristik, adalah pemikiran tentang keberlanjutan ide-ide ini. Bukan berhenti di “rak-rak” perpustakaan adalah harapan utama penulis, tetapi ada upaya entah itu komersialisasi, implementasi kebijakan, apapun yang tentu harus dengan menggandeng pihak lain, pemerintah (pusat hingga daerah) maupun swasta (perusahaan hingga petani kecil) bahkan jika dipandang perlu dengan lintas negara. Artinya, setelah PIMNAS, eman-eman jika ide/kreasi mahasiswa berhenti upaya implementasinya.

Tim Belmawa sudah mengusahakan hal itu melalui panduan PKM(misalnya PKM-T wajib mahasiswa menggandeng UKM) maupun upaya lain seperti undangan PIMNAS untuk berbagai kalangan. Simbelmawa juga secara komprehensif sudah menuangkan karakter kreatif melalui item-item penilaian setiap skim PKM. Beberapa mahasiswa (atau tim mahasiswa) juga sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menindaklanjuti ide-ide PKM mereka misalnya ada yang menjadi pengusaha real estate, dan juga men-sinetron-kan ide PKM mereka. Hal ini tentu menjadi catatan keunggulan proses dan hasil dari PKM.

Tetapi sebagian besar alumni PIMNAS (apalagi alumni PKM non-PIMNAS) belum bisa beranjak dari pandangan linear “PKM hingga PIMNAS”. Seandainya mereka bersemangat menindaklajuti PKM mereka, kerap kali berhadapan dengan kebuntuan terkait peluang maupun faktor pendukung. Perjuangan mengawal ide bagi mereka ini berhenti di PIMNAS.

Gagasan penulis – jika belum ada/dibentuk - adalah adanya upaya komunikasi yang kontributif terhadap para alumni PIMNAS. Belmawa tentu membuka peran serta juga instansi lain, di pemerintahan maupun swasta yang memungkinkan tidak hanya mengalkulasi, mengklasifikasi, atau mendokumentasikan ide-ide PKM ini, tetapi juga membangun peluang konstruksif di masa-masa setelah PIMNAS, jangka pendek maupun jangka panjang.

Ide “tol bawah laut” misalnya, tergolong ide yang implementasinya jangka panjang. Ide “usaha tas dari jeans bekas” tergolong ide yang implementasinya jangka pendek. Alumni PIMNAS bisa terlibat secara pasif dan aktif di komunitas (online adalah pilihan terkini) di mana alumni PIMNAS bisa mendapatkan informasi, atau memberi informasi, menjalin jejaring, dan membangun kemungkinan implementasi yang jelas dan positif. Pelibatan tim belmawa bisa dibayangkan di komunitas itu sebagai “perantara” ide dari dan ke mahasiswa dengan pelibatan pihak-pihak lain.

Menjadi kreatif tidak berarti harus menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Ada jejaring epistemologis antar gagasan yang memungkinkan munculnya Horizon baru. Apabila horizon-horizon ini saling bersimbiosis secara mutualis, bukan omong kosong jika negara ini memiliki sumber daya manusia yang unggul dibandingkan negara lain khususnya dalam hal pengelolaan potensi menuju aktualisasi yang mendunia. Perlu upaya komunikasi konstruktif dan kontributif yang lebih bergema untuk para pejuang kreatif ini.

Quo Vadis PKM?
PKM adalah mercusuar bergengsi penulisan karya mahasiswa di tingkat nasional. Penyamaan persepsi dan kegiatan semacamnya perlu terus dilakukan untuk pertumbuhan dan pemerataan kemampuan menulis para mahasiswa menuju level tulisan ilmiah yang diakui dunia. PKM sekaligus telah menjadi kreator ide pemilihan tulisan mahasiswa yang kompetitif-prestatif.

Di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sudah tahun keempat ini untuk penyelenggaraan Kompetisi Ilmiah Mahasiswa Nasional (KIMNAS) di Fakultas Ekonomi. Penulis dua kali diundang menjadi juri, sehingga menyaksikan betapa ide-ide kreatif tingkat nasional sudah bisa dirasakan “aura”nya sejak mulai penilaian desk evaluation. Sewaktu 6 tahun penulis menjadi pembina Unit Kegiatan Ilmiah Mahasiswa, berbagai kegiatan penulisan ilmiah mahasiswa (dan siswa SMU) dikompetisikan. Selain itu, olahraga juga turut dibidik masyarakat akademik (khususnya yang memiliki lembaga pendidikan di bidang olahraga – seperti FIO tempat penulis bekerja). Lomba penulisan ilmiah mahasiswa untuk tema keolahragaan beberapa kali digelar lintas institusi, baik oleh Fakultas lintas universitas maupun oleh lmbaga asosiatif seperti Ikatan Mahasiswa Olahraga Indonesia (IMORI). Belum lagi tema koperasi, perdagangan, dan lain-lain. Semua kegiatan kompetisi penulisan ilmiah mahasiswa tersebut berada “di bawah bayang-bayang” PKM.

Semua mahasiswa punya peluang yang sama untuk berprestasi di PKM. Saat ini, PKM masih sangat relevan dengan kegiatan mahasiswa dengan titik tekan pada proses penalaran ilmiah yang unggul. Berbagai kegiatan peningkatan kuantitas dan kualitas PKM di instansi perguruan tinggi memang masih diperlukan, misalnya workshop, pelatihan, atau sosialisasi.

PKM akan terus diperlukan adanya untuk menghadapi masa depan.




[1] Dr. Made Pramono adalah dosen pada Fakultas Ilmu Olahraga Unesa, reviewer nasional PKM 2018 dan 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar