Review Nasional PKM 2019
Made Pramono[1]
Jika rata-rata setiap reviewer
mereview 160 judul PKM tahun 2019 ini, maka boleh kita berharap terpenuhinya
ramalan ilmiah Indonesia Emas 2035. Bonus demografi yang menjanjikan jika
ide-ide kreatif brilian bermunculan disertai kapasitas fasilitas yang optimum
dari pemerintah dan/atau swasta. Kedigdayaan Indonesia memasuki Revolusi
Industri 4.0 juga bisa terus dikerek hingga merah putih bertengger di Puncak
Kejayaan kelas dunia, mengingat di antara ribuan PKM yang menumpuk di situs
simbelmawa.ristekdikti.go.id sejak awal
tahun ini, banyak yang mengangkat tema link
and match dunia pendidikan tinggi dengan dunia industri (termasuk sekolah,
rumah sakit) yang menggunakan informasi, teknologi, dan komunikasi sebagai
penghantarnya.
Asumsi bahwa ide-ide PKM adalah kreatif, seyogyanya juga
diiringi pendampingan yang kreatif pula. Tidak hanya pendampingan program
secara nasional oleh pemerintah khususnya belmawa (penyelenggaraan sosialisasi,
monev, evaluasi), tetapi di tingkat sel pendampingan oleh alumni PIMNAS kepada
adik-adiknya, dosen kepada tim bimbingannya, unit-unit di kampus terhadap dosen
(calon) pembimbing dan mahasiswanya, serta koordinasi harmonis bidang penalaran
dengan bidang-bidang yang lain di kampus (misalnya dengan bidang tata usaha
terkait persuratan untuk kelancaran penugasan dosen).
Terlepas dari permasalahan persyaratan administratif yang masih
cukup banyak di evaluasi tahap I, kecermatan reviewer diandalkan untuk memilah
ide-ide orisinal kreatif dari ide-ide usang dan apalagi “ide-ide plagiasi”. Kecermatan
ini terimplementasikan betul di Evaluasi Tahap 2 dengan penekanan pada
karakteristik skim masing-masing yang meskipun tentu berbeda antar 1 skim
dengan skim lainnya, tetapi rohnya tetap satu: kreativitas.
Tulisan berikut membatasi eksplorasi kata-kata kunci PKM,
meliputi:
1. Persyaratan administratif
2. Ide kreatif
2. Ide kreatif
Penulis tidak menyajikan data-data nasional, melainkan lebih
mengangkat “pengalaman” individual, untuk perspektif terhadap “kondisi” PKM yang
bisa jadi juga berbeda dengan belmawa atau reviewer lain.
Persyaratan
Administratif: Kunci Pembuka
Tulisan ini tidak membicarakan kondisi dosen, tetapi khusus
PKM bagi mahasiswa. Keduanya terhubung sebagai sistem yang bersinergis, tetapi
limitasi tulisan ini hanya fokus pada implementasi di dunia mahasiswa.
Semua mahasiswa PKM setara. Secara terbuka penulis kurang
setuju dengan asumsi itu dalam hal keteraksesan mereka terhadap informasi,
peluang, dan perlakuan yang memang berbeda. Tidak hanya tentang Sumatera dan
Papua, tetapi ini bisa terjadi dalam satu kampus antar Prodi. Prodi yang satu
menonjol dan langganan banyak mengirim PKM, sementara Prodi yang lain nol
(sekalipun PT berada di Jawa sebagai pusat negara).
Artinya, mahasiswa secara nasional memang berkesempatan dan
berpeluang sama untuk menuai prestasi dalam PKM dan PIMNAS. Apalagi sistem
daring yang dapat diakses secara mudah oleh mahasiswa yang diselenggarakan
secara profesional dan kuat oleh tim IT belmawa. Meskipun demikian, persepsi
dan motivasi tidak bisa dipastikan didapat secara sama oleh setiap PT, dan
tentu juga oleh Prodi. Sosialisasi, koordinasi, dan penyamaan persepsi yang
diselenggarakan Belmawa selama ini tentu sangat membantu mengurangi “jurang”
ketidaksamaan itu. Tetapi karakter institusi mahasiswa juga mempengaruhi
motivasi mahasiswa dalam menulis karya ilmiah dan dengan demikian juga persepsi
terhadap PKM. Implementasi pendampingan di tahap unit-unit kecil di mana
mahasiswa berada, juga berpengaruh.
Alhasil, sampai tahun ini upaya sosialisasi, penyamaan
persepsi, atau evaluasi oleh Belmawa dan tindak lanjutnya berupa kebijakan,
pendampingan, dan evaluasi oleh PT masih terus relevan untuk digelar. Salah
satu fenomana yangmelatarbelakangi kegayutan acara-acara semacam itu adalah
masih cukup banyak ide-ide kreatif mahasiswa yang “gagal sebelum memasuki
marwah PKM”, dikarenakan ketidakcermatannya mahasiswa terhadap persyaratan
administratif.
Belmawa melalui panduan PKM selalu menonjolkan informasi
tentang “kunci pembuka” berupa lolos persyaratan administratif itu. Bahkan
sejak dua tahun kemarin sudah ada mekanisme penyeleksian PKM terkait
persyaratan administratif oleh internal PT. Di level nasional, juga ada tahapan
khusus seleksi syarat administratif ini sebelum diseleksi tahap berikutnya
hingga PIMNAS. Tidak ada kesalahan administratif sama sekali ketika PKM sudah
sampai dikompetisikan di PIMNAS.
Memang “menggemaskan” bagi penulis ketika reviewer harus
menggugurkan PKM (yang bisa jadi idenya orisinil dan kreatif) karena
permasalahan scan atau crop tanda tangan yang menyalahi ketentuan (yang boleh
jadi bukan dimaksudkan mahasiswa untuk curang). Reviewer perlu memahami hal-hal
administratif seperti itu sebagai satu rangkaian dengan maksud “kreativitas”
dari PKM. Kreativitas ilmiah berarti termasuk dilihat dari eliminasi kesalahan
administratif.
Tidak hanya masalah tanda tangan, persoalan seperti tidak
sesuainya jadual dan jumlah dana yang diusulkan di lembar pengesahan dengan rincian
jadual dan total dana yang tertera di justifikasi anggaran bisa menggugurkan
PKM. Ini menunjukkan kekurangtelitian mahasiswa yang cukup fatal sehingga
menghasilkan nilai yang minimum di Evaluasi tahap I. Tetapi tidak melulu
mahasiswa, dosen pembimbing juga terkadang bisa menggugurkan PKM bimbingannya
karena – yang paling menonjol – riwayat hidup dosen tertulis diperuntukkan
dalam rangka hibah penelitian dosen atau untuk skim PKM yang berbeda. Dengan
demikian, upaya ide-ide kreasi ilmiah gugur bukan hanya karena mahasiswa,
tetapi juga karena dosen pembimbingnya.
Bagaimana dengan sistem? Di antara dua pilihan antara tidak
perlunya Tim Belmawa membuatkan semacam “template” daring agar
kesalahan-kesalahan baik dari mahasiswa maupun dosen pembimbingnya tersebut
bisa dieliminasi, ataukah perlunya “template”, penulis lebih setuju jika Tim
Belmawa membentuk tim khusus melibatkan reviewer untuk membuat “template” yang accessible dalam rangka meminimalisir
kesalahan administratif bagi ide PKM yang sebenarnya kreatif, orisinil, dan
berguna untuk masyarakat saat ini dan nanti. Bahkan secara “ekstrim”, penulis
membayangkan sistem terintegrasi di mana mahasiswa (dan dosen pembimbing) hanya
tinggal memasukkan semua bagian naskah PKM secara terpisah dan daring. Misalnya
ada kolom untuk halaman judul, kolom metode penelitian atau pelaksanaan, kolom
untuk daftar pustaka dan kolom untuk lampiran sesuai skim di Simbelmawa.
“Template” ini harapan penulis bukan dilihat sebagai
memanjakan mahasiswa, tetapi sebaiknya lebih dilihat sebagai upaya menonjolkan
huruf “K” dalam “PKM”, yakni kreativitas dan meminimalisir upaya “pembersihan”
kesalahan administratif seperti upaya berupa monev internal khusus persyaratan
administratif atau evaluasi tahap I. Memang
dibutuhkan Tim IT yang handal, database yang kuat dan besar, serta akses
jaringan yang lebih leluasa. Reviewer dengan “template” ini bisa fokus ke
tulisan dan ide mahasiswa.
Kreatif dan
Payungnya
Beberapa kali penulis mengikuti PIMNAS (pertama kali tahun
2010), sebagai dosen pembimbing maupun sebagai Tim Penalaran di Unesa. Salah
satu pemikiran yang selalu muncul setelah menyaksikan perhelatan PIMNAS dengan
berbagai ide kreatif yang bagus, hebat, dan futuristik, adalah pemikiran
tentang keberlanjutan ide-ide ini. Bukan berhenti di “rak-rak” perpustakaan
adalah harapan utama penulis, tetapi ada upaya entah itu komersialisasi,
implementasi kebijakan, apapun yang tentu harus dengan menggandeng pihak lain,
pemerintah (pusat hingga daerah) maupun swasta (perusahaan hingga petani kecil)
bahkan jika dipandang perlu dengan lintas negara. Artinya, setelah PIMNAS, eman-eman jika ide/kreasi mahasiswa
berhenti upaya implementasinya.
Tim Belmawa sudah mengusahakan hal itu melalui panduan
PKM(misalnya PKM-T wajib mahasiswa menggandeng UKM) maupun upaya lain seperti
undangan PIMNAS untuk berbagai kalangan. Simbelmawa juga secara komprehensif
sudah menuangkan karakter kreatif melalui item-item penilaian setiap skim PKM. Beberapa
mahasiswa (atau tim mahasiswa) juga sudah menunjukkan keberhasilannya dalam
menindaklanjuti ide-ide PKM mereka misalnya ada yang menjadi pengusaha real
estate, dan juga men-sinetron-kan ide PKM mereka. Hal ini tentu menjadi catatan
keunggulan proses dan hasil dari PKM.
Tetapi sebagian besar alumni PIMNAS (apalagi alumni PKM
non-PIMNAS) belum bisa beranjak dari pandangan linear “PKM hingga PIMNAS”.
Seandainya mereka bersemangat menindaklajuti PKM mereka, kerap kali berhadapan
dengan kebuntuan terkait peluang maupun faktor pendukung. Perjuangan mengawal
ide bagi mereka ini berhenti di PIMNAS.
Gagasan penulis – jika belum ada/dibentuk - adalah adanya
upaya komunikasi yang kontributif terhadap para alumni PIMNAS. Belmawa tentu
membuka peran serta juga instansi lain, di pemerintahan maupun swasta yang
memungkinkan tidak hanya mengalkulasi, mengklasifikasi, atau mendokumentasikan
ide-ide PKM ini, tetapi juga membangun peluang konstruksif di masa-masa setelah
PIMNAS, jangka pendek maupun jangka panjang.
Ide “tol bawah laut” misalnya, tergolong ide yang
implementasinya jangka panjang. Ide “usaha tas dari jeans bekas” tergolong ide
yang implementasinya jangka pendek. Alumni PIMNAS bisa terlibat secara pasif
dan aktif di komunitas (online adalah
pilihan terkini) di mana alumni PIMNAS bisa mendapatkan informasi, atau memberi
informasi, menjalin jejaring, dan membangun kemungkinan implementasi yang jelas
dan positif. Pelibatan tim belmawa bisa dibayangkan di komunitas itu sebagai
“perantara” ide dari dan ke mahasiswa dengan pelibatan pihak-pihak lain.
Menjadi kreatif tidak berarti harus menciptakan sesuatu yang
sama sekali baru. Ada jejaring epistemologis antar gagasan yang memungkinkan
munculnya Horizon baru. Apabila horizon-horizon ini saling bersimbiosis secara
mutualis, bukan omong kosong jika negara ini memiliki sumber daya manusia yang
unggul dibandingkan negara lain khususnya dalam hal pengelolaan potensi menuju
aktualisasi yang mendunia. Perlu upaya komunikasi konstruktif dan kontributif
yang lebih bergema untuk para pejuang kreatif ini.
Quo Vadis
PKM?
PKM adalah mercusuar bergengsi penulisan karya mahasiswa di
tingkat nasional. Penyamaan persepsi dan kegiatan semacamnya perlu terus
dilakukan untuk pertumbuhan dan pemerataan kemampuan menulis para mahasiswa
menuju level tulisan ilmiah yang diakui dunia. PKM sekaligus telah menjadi
kreator ide pemilihan tulisan mahasiswa yang kompetitif-prestatif.
Di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sudah tahun keempat
ini untuk penyelenggaraan Kompetisi Ilmiah Mahasiswa Nasional (KIMNAS) di
Fakultas Ekonomi. Penulis dua kali diundang menjadi juri, sehingga menyaksikan
betapa ide-ide kreatif tingkat nasional sudah bisa dirasakan “aura”nya sejak
mulai penilaian desk evaluation.
Sewaktu 6 tahun penulis menjadi pembina Unit Kegiatan Ilmiah Mahasiswa,
berbagai kegiatan penulisan ilmiah mahasiswa (dan siswa SMU) dikompetisikan.
Selain itu, olahraga juga turut dibidik masyarakat akademik (khususnya yang
memiliki lembaga pendidikan di bidang olahraga – seperti FIO tempat penulis
bekerja). Lomba penulisan ilmiah mahasiswa untuk tema keolahragaan beberapa
kali digelar lintas institusi, baik oleh Fakultas lintas universitas maupun
oleh lmbaga asosiatif seperti Ikatan Mahasiswa Olahraga Indonesia (IMORI).
Belum lagi tema koperasi, perdagangan, dan lain-lain. Semua kegiatan kompetisi
penulisan ilmiah mahasiswa tersebut berada “di bawah bayang-bayang” PKM.
Semua mahasiswa punya peluang yang sama untuk berprestasi di
PKM. Saat ini, PKM masih sangat relevan dengan kegiatan mahasiswa dengan titik
tekan pada proses penalaran ilmiah yang unggul. Berbagai kegiatan peningkatan
kuantitas dan kualitas PKM di instansi perguruan tinggi memang masih
diperlukan, misalnya workshop, pelatihan, atau sosialisasi.
PKM akan terus diperlukan adanya untuk menghadapi masa depan.
[1] Dr. Made
Pramono adalah dosen pada Fakultas Ilmu Olahraga Unesa, reviewer nasional PKM
2018 dan 2019