Tulisan ini sudah dipublikasikan sebelumnya dalam Buku "UNESA EMAS BERMARTABAT: 50 TAHUN 1964-2014" (2014, Unesa University Press).
-----------------------------------------------------------------------------------------
URGENSI PENGUATAN KESADARAN KRITIS
MAHASISWA
Mengokohkan Unesa Bermartabat
Made
Pramono[1]
Kesadaran Kritis sebagai Instrumen Penting Pendidikan
Hikmah dari kisah
Promotheus, ilmu digambarkan sebagai momok
bagi dewa, karena melaluinya manusia tidak lagi hanya menerima begitu saja pada
apapun yang terjadi padanya, bahkan di titik tertentu mampu mengancam
kenyamanan para dewa. Ilmu pengetahuan sebagai buah utama pendidikan, memang menjadi
musuh bagi ketundukan irasionalitas, kebodohan, dan kemiskinan dengan peran
penyadaran yang diembannya. Abad 16 dalam sejarah dikenang dengan kebangkitan ilmu
menguak kenyataan alam yang merupakan “tabu agama”: Galileo Galilei menghadapi
hukuman inkuisisi gereja karena dukungannya pada Heliosentrisme Copernicus yang
bertentangan dengan pendapat Gereja bahwa bumi adalah pusat semesta.
Melalui
pendidikan, seorang anak manusia termampukan keluar dari “takdir” kondisi
lingkungannya. Akses informasi dan pengaruh tokoh-tokoh yang dikenalnya selama
masa pendidikan, menjadikan subjek didik tidak sekedar “melek huruf dan angka”,
namun juga “melek budaya”. Inilah kesadaran kritis, suatu kapasitas kognitif di
lapisan dasar yang memampukan seseorang untuk tidak hanya mengenali dan
meresapi kenyataan yang dialaminya, namun juga mempertanyakan secara radikal
dan me(re)konseptualisasikannya secara orisinal dan kreatif. Paulo Freire –
tokoh pendidikan Brazil - menyebut misi kritis pendidikan ini sebagai conscientizacao. Lembaga pendidikan di
level apapun dan di ranah apapun, memiliki tanggung jawab untuk memutus
kemiskinan dan kebodohan melalui proses penyadaran terus menerus ini.
Memang penulis
belum menemukan penelitian yang memadai tentang hubungan tingkat penguatan
afirmatif dari kesadaran kritis dengan produktivitas ilmiah maupun jenis-jenis
konsepsi dan aksi dari mahasiswa, namun setidaknya bisa disepakati bahwa tanpa
adanya kesadaran kritis, pendidikan kehilangan identitas “pengembangan potensi
manusia” sebagaimana ditekankan undang-undang sistem pendidikan nasional.
Dengan membuka keteraksesan informasi dan memberi gambaran tentang berbagai
proses dan produk pemikiran, pendidikan bernilai sangat strategis bagi
pematangan potensi, dan sekaligus di lapisan fundamental memungkinkan
keterasahan kesadaran kritis manusis-manusia terdidik. Pada gilirannya,
aktualisasi potensi subjek didik ini mengerucut pada berbagai pemikiran dan
tindakan yang produktif sesuai kompetensi keilmuan yang dicapai.
Sebagai lembga pendidikan
tinggi, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga berperan menyangga misi kritis
penyadaran ini dengan berbagai perangkat keras (misalnya gedung atau perangkat
teknologi), perangkat lunak (misalnya sistem manajemen atau kurikulum), maupun brainware (sikap mentalitas sivitas
akademikanya). Pada gilirannya, kesadaran kritis yang dialami mahasiswa, akan
memunculkan karakter lain yang memicu pengembangan ilmu dan teknologi baik demi
kepentingan pribadi mahasiswa itu sendiri, maupun demi kemaslahatan masyarakat
luas. Di antara karakter yang dimaksud adalah keberanian mempertanyakan segala
sesuatu, “naluri” untuk selalu haus pengetahuan, hingga “naluri” untuk secara
cerdas dan tepat mendapatkan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapinya
maupun permasalahan masyarakat luas yang dicernanya. Tentu saja, peran
cendekiawan lulusan universitas sebagai moral
oracle (orang bijaksana penjaga moral) mengiringi implementasi kesadaran
kritis di tataran praksis. Kesadaran kritis ini pula yang nantinya mampu
mengarahkan mahasiswa bergabung dalam intelektual organik yang bahu membahu
mengabdikan wawasan yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat luas sebagaimana
dicetuskan Antonio Gramsci. Cendekiawan berkesadaran kritis dan melibatkan diri
dalam masalah-masalah aktual masyarakat inilah yang disebut sebagai nabi-nabi
tanpa senjata (unarmed prophets) oleh
Machiavelli, yang ditengarai Karl Mannheim sebagai cendekiawan yang
menghindarkan diri dari tindak pengkhianatan intelektual, menyuarakan kebenaran
hanya dari menara gading.
Satu hal lagi
yang bisa diharapkan sebagai konsekuensi kesadaran kritis ini adalah
bermunculannya mahasiswa/alumni Unesa yang menjadi agen-agen perubahan kritis
dan kreatif yang mewujud dalam berbagai jalur: penelitian, tulisan, dan
gerakan. Isu-isu seperti masalah perundang-undangan di bidang pendidikan atau
penyelenggaraan ujian akhir nasional yang sempat memicu kontroversi nasional, merupakan
contoh tantangan nyata yang harus ikut dihadapi secara kritis dan kreatif oleh
mahasiswa/alumni Unesa.
Bisa saja masih
ada yang bertanya: mengapa “harus”? Kesadaran kritis apabila sudah terinternalisasikan
dalam diri mahasiswa Unesa yang secara strategis memposisikan diri sebagai
lembaga pendidikan tinggi yang concern
terhadap permasalahan pendidikan, tentu isu-isu seperti di atas menarik nalar
kritis mahasiswa. Hal ini menjadi keniscayaan intelektual, kecuali jika memang
kita warga Unesa masih berpuas diri menjadi ahli-ahli pembelajaran, namun gagap
dengan permasalahan pendidikan. Menenggelamkan diri dengan bermacam-macam tabel
dan model pembelajaran, sehingga tidak peka (dan lebih parah lagi: tidak ada
waktu/energi) untuk berperan aktif memikirkan berbagai permasalahan pendidikan
nasional dan internasional.
Lebih konyol lagi
jika ditanyakan juga: apa untungnya menjadi mahasiswa peka dan kritis? Bukankah
“kuliah, berprestasi akademis dan syukur-syukur non-akademis, lulus, menjadi
guru atau profesi yang mapan” sudah cukup membanggakan keluarga dan almamater?
Laksanakan saja tugas sebaik mungkin hingga mencapai posisi dan/atau nilai yang
cemerlang!
Meminjam
ilustrasi di Novel Dunia Sophie, kebanyakan kita cukup nyaman menjadi kutu di
kehangatan bulu-bulu kelinci yang menghisap darah kelinci lalu tidur dalam
kenyamanan. Itu boleh dan tidak salah. Tetapi sejarah membuktikan, selalu ada
satu atau beberapa kutu kelinci yang naik ke permukaan bulu-bulu kelinci, lalu
menyadari bahwa dia hanyalah kutu di tubuh kelinci yang dipakai tukang sulap
untuk mencari uang. Sejarah mencatat orang-orang yang keluar dari zona nyaman,
mengubah nasib diri dan masyarakatnya, hingga sampai ke zaman kita. Mereka adalah
para Nabi, para ilmuwan, para penggerak zaman yang acapkali dicemooh oleh
orang-orang sekelilingnya sebagai orang aneh, sia-sia, dan sejenisnya, namun
kemudian dari orang-orang yang dianggap “aneh, gila, atau pemberontak” itulah,
peradaban baru muncul, teknologi berkembang, kesalahan demi kesalahan
tereliminasi, dan seterusnya. “Hidup yang tak pernah dipertanyakan”, kata
Socrates, “adalah hidup yang tidak berharga”.
Penalaran Mahasiswa
Tidak hanya
permasalahan pendidikan, sebagai bagian dari mahasiswa nasional, mahasiswa Unesa
juga dituntut kepedulian kritis dan kreatifnya dalam berbagai dimensi kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu ilustrasi yang sering penulis
sampaikan di berbagai forum adalah tentang status “mahasiswa”. Embel-embel
“maha” di depan “siswa” dalam kata “mahasiswa”, bisa diterjemahkan bebas
sebagai tantangan yang harus disadari mahasiswa, bahwa memperoleh dan aktif
dalam materi perkuliahan, mengerjakan tugas, melaksanakan ujian, dan rutinitas
sehari-hari sebagai subjek didik di perguruan tinggi, itu memang kegiatan yang
tampak dominan dalam kehidupan kampus. Namun hanya berkutat dengan kegiatan
tersebut, meskipun boleh, adalah hal yang tidak memadai disandang seorang
“maha”siswa. Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat adalah
tiga hal yang harus dilaksanakan setiap perguruan tinggi yang dikenal dengan
Tri Dharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, penulis menyebut “tidak memadai”
bagi mahasiswa yang hanya berjibaku dengan salah satu di antara tiga dharma itu,
yakni pendidikan (khususnya dalam arti pembelajaran). Apalagi jika dikaitkan
dengan dana milyaran rupiah yang digelontorkan pemerintah (juga pihak swasta) untuk
mahasiswa tiap tahun – di luar koridor dana pembelajaran – yang salah satu
tujuannya untuk mengintegrasikan empat komponen penentu mutu lulusan perguruan
tinggi: academic knowledge, skill of
thinking, management skill, dan
communication skill.
Di antara
program-program pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi) yang menstimuli mahasiswa dengan berbagai kompetisi penalaran yang pada
gilirannya mampu menentukan reputasi perguruan tinggi itu sendiri, adalah
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Dalam program ini, terbuka luas kontribusi
lintas bidang dari mahasiswa, misalnya mahasiswa Fakultas Teknik bisa saja
menuliskan ide kreatif-kritisnya di bidang pengembangan budaya. Selain PKM,
kompetisi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW), Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional
(POMNAS), Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS), MTQ dan lain-lain juga
diprogramkan pemerintah untuk menampung aktivitas positif-produktif mahasiswa.
Memperkokoh daya
saing Unesa dengan mahasiswa sebagai subjek utamanya, tentu saja tidak terbatas
pada permasalahan PKM ini saja. Namun dengan bercermin dari PKM di Unesa,
penulis mengajak pembaca untuk memproyeksikan kondisi, tantangan, hambatan, dan
harapan terkait kesadaran kritis mahasiswa serta bagaimana kesadaran kritis
tersebut mampu diimplementasikan dalam berbagai hal positif lain yang
meningkatkan daya saing Unesa ke depan. Selain itu, penulis sengaja mengangkat
wacana PKM karena saat ini memang sebagian besar energi penulis untuk mahasiswa
tercurah untuk ikut meningkatkan prestasi PKM – tentu saja selain dalam proses
perkuliahan.
Sejak tahun 2006
hingga 2014 ini, penulis terlibat langsung dalam kiprah mahasiswa Unesa di
bidang penalaran. Pertama sebagai pembina Unit Kegiatan Ilmiah Mahasiswa (UKIM),
dan berikutnya sebagai koordinator tim penalaran Fakultas Ilmu Keolahragaan
(FIK) Unesa sekaligus salah satu tim penalaran di universitas. Berbeda dengan
masa sekolah menengah, kegiatan ekstrakurikuler di kalangan mahasiswa mengandaikan
adanya kemandirian di tingkat pengelolaan manajerial organisasi dan
pemberdayaan sumber daya manusia, sehingga peran dosen pendamping (dulu
pembina), lebih berfungsi sebagai mediator-fasilitator daripada sebagai
instruktur (pemberi instruksi). UKIM maupun tim penalaran secara rutin selalu
memprioritaskan PKM sebagai proyek utamanya. Hal ini bisa dipahami sebagai
konsekuensi dari tantangan penalaran ilmiah tingkat nasional yang terorganisir
oleh Dikti, sehingga gambaran umum tentang refleksi implementasi kesadaran
kritis bisa diproyeksikan dari PKM ini.
PKM dikembangkan
untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi
berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam
rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta
berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan
kemampuan, keahlian, sikap tanggung jawab, membangun kerjasama tim maupun
mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang
ditekuni.
Saat ini dikenal 7
(tujuh) jenis kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM- Penelitian
(PKM-P), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M),
PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-KARSACIPTA (PKM-KC), dan PKM-Karya Tulis
(PKM-KT). Di dalam PKM-KT terkandung 2
(dua) program penulisan, yaitu: PKM-Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan
Tertulis (PKM-GT). Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) merupakan muara
akhir yang prestisius bagi semua jenis PKM, kecuali PKM-AI yang merupakan
artikel hasil kegiatan.
Harus diakui, Unesa
masih perlu berbenah untuk mampu bersaing dalam hal prestasi PKM ini dengan
berbagai universitas lain. Universitas Brawijaya (UB), ITS, dan Unair adalah tiga
perguruan tinggi Jawa Timur yang selalu bertengger di posisi atas dalam
kuantitas proposal yang lolos didanai maupun perolehan (setara) medali di
PIMNAS sebagai ajang prestisius tahunan puncak PKM. Apabila sistem sudah
berlangsung baik dan terformat sedemikian rupa sehingga memungkinkan
terciptanya suasana kondusif bagi mahasiswa untuk menuangkan ide-ide orisinil,
kreatif, dan kritis dalam PKM, bukan tidak mungkin Unesa bisa menggeser ITS
yang pada tahun 2013 menyandang Juara Umum PIMNAS.
Dalam hal
produktivitas, sebagian fakultas di Unesa sudah semakin melesat meninggalkan
fakultas lainnya. Penulis ambil contoh ketika Fakultas Ekonomi sudah
mencadangkan lebih dari 200 proposal PKM yang hendak dikirimkan ke Dikti, di
saat yang sama fakultas lain masih belum terdeteksi alias belum ada pengarsipan PKM yang terkumpul. Tentu saja pembenahan sistemik di fakultas yang sudah
tercipta baik ini harus tertularkan ke fakultas lain. Memang kuantitas PKM yang terkumpul tidak
mencerminkan kualitas yang
memungkinkan PKM tersebut bisa berkompetisi ketat dengan universitas lain saat
PIMNAS. Meskipun demikian, bisa diasumsikan bahwa jika jumlah mahasiswa yang
terlibat dalam penulisan ide kreatif PKM semakin banyak, maka semakin terasah
juga kualitasnya. Yang lebih penting lagi, hal ini menunjukkan adanya suasana
kondusif bagi kompetisi ilmiah. Suasana semacam ini, di lapisan yang lebih
mendasar juga mensyaratkan adanya kesadaran
dari kalangan mahasiswa tentang pentingnya penuangan pemikiran kritis, kreatif,
dan orisinil.
Proses penularan
kesadaran yang memunculkan keberanian untuk selalu mempertanyakan segala
sesuatu, rasa ingin tahu yang besar, dan kemauan kuat untuk mencari solusi atas
berbagai permasalahan secara tepat ini, tentu tidak terjadi semudah membalik
telapak tangan. Tidak hanya mahasiswa itu sendiri, namun membutuhkan kemauan
dan partisipasi semua pihak yang merasa berkepentingan. Secara singkat, proses
ini membutuhkan kemauan, keyakinan, dan wawasan yang kuat dan tepat sebagaimana
tergambar berikut.
Gambar
1. Model Empat Lingkaran
Apa yang kita inginkan mewujud misalnya
dalam (1) lingkungan yang nyaman, kondusif, dan positif; (2) Budaya mahasiswa
dalam hal pemikiran kreatif-kritis, kerja keras, dan memanfaatkan peluang yang
ada; (3) Forum-forum diskusi/pelatihan; (4) koordinasi sinergis antar
mahasiswa, mahasiswa dengan dosen kuliah, mahasiswa dengan pimpinan lembaga,
antar dosen, dosen-pimpinan. Artikulasi singkatnya, apa yang kita inginkan menyangkut tujuan bersama maupun tujuan
masing-masing individu yang diupayakan terpenuhi.
Apa yang kita yakini berkenaan dengan
persoalan prinsip-prinsip pemandu yang mempengaruhi semua aspek, misalnya (1)
Semua pribadi adalah makhluk yang selalu belajar dan berbenah; (2) Keberhasilan
semua usaha adalah resultante kerja
keras, keberuntungan, dan dukungan alam (bakat maupun ketakterdugaan yang
menguntungkan); (3) Kesuksesan menjadi bibit kesuksesan yang lain; (4) Mahasiswa
meneladani dosen dan seniornya; (5) Lembaga harus responsif dan respektif terhadap
dosen maupun mahasiswa; (6) Semua usaha memiliki nilai dan martabat. Apa yang kita yakini merupakan
determinan paling penting dalam operasionalisasi budaya, kebijakan, dan praktek
pengelolaan (dalam hal ini misalnya) PKM.
Apa yang kita ketahui memberikan rujukan
berbasis riset bagi mahasiswa, dosen, maupun tenaga administrasi yang terlibat
dalam pengelolaan PKM. Di antara manifestasi dari apa yang kita ketahui ini misalnya berupa pedoman PKM, peta atau trend tema PKM sesuai bidangnya,
strategi lembaga lain, pengalaman mahasiswa dengan PKM yang sudah pernah sampai
PIMNAS, dan berbagai materi untuk pelatihan.
Dengan memahami
ketiga hal tersebut di atas, maka semua pihak niscaya juga memahami apa yang kita lakukan. Berbagai
kebijakan dan program di level organisasi kelembagaan maupun disiplin kerja di
level mahasiswa (dan pihak terkait lain), merupakan implementasi dari apa yang
kita inginkan, yakini, dan ketahui. Dengan demikian pengelolaan PKM yang
berangkat dari kesadaran semua pihak yang berkepentingan terhadap keempat hal
tersebut, memampukan tidak hanya fakultas namun juga universitas untuk
memproyeksikan proses yang harus dilalui dalam rangka meningkatkan kuantitas
maupun kualitas PKM. Blog dan media sosial “penalaran Unesa” sejak tahun 2009 penulis
dirikan untuk mendukung terciptanya kondisi kampus Unesa yang kondusif bagi
penyemaian kesadaran kritis di kalangan mahasiswa ini, dan tentu saja untuk
mengkomunikasikan berbagai hal terkait implementasi dari apa yang kita
inginkan, yakini, ketahui, dan lakukan salah satunya dalam hal pengelolaan PKM
di Unesa. Sebagian tulisan inipun mengambil ide/data dari blog dan media sosial
tersebut.
Oleh karena
fokusnya adalah penalaran mahasiswa, maka sesungguhnya mahasiswa juga yang
paling berkepentingan, sehingga syarat mutlak yang melandasi pengelolaan PKM
adalah kesadaran kritis-kreatif dari mahasiswa itu sendiri. “Paceklik” PIMNAS
sempat menimpa Unesa di tahun 2011, 2012, dan 2013 dengan hanya memberangkatkan
masing-masing satu tim PKM ke PIMNAS. Medali perunggu diraih duta PKM Unesa di
tahun 2013, setelah tiga tahun sebelumnya nihil medali (perolehan terakhir tahun
2009, 2006, 2005, 2004).
Hal ini tentu
bukan menjadi penghalang psikologis bagi mahasiswa di tahun 2014 ini untuk
berjuang (amat) keras menjulangkan Unesa sejajar dengan universitas-universitas
“pencakar langit” seperti UB dan UGM di PIMNAS. Yang tidak kalah penting, hal
tersebut juga (semoga) bukan menjadi penghalang bagi dosen maupun tenaga
administrasi yang terlibat dalam pengelolaan PKM untuk membantu, mendukung, dan
memfasilitasi mahasiswa secara maksimal. Bisa jadi, perjuangan keras Unesa
dalam mengelola PKM secara maksimal, masih belum sebanding dengan perguruan
tinggi lain. Tetapi selalu berusaha, jauh lebih baik daripada terpasung pasrah
menyerah pada ketertinggalan.
Mahasiswa antara Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik
Mahasiswa Unesa, perlu
menyadari posisinya di antara mahasiswa lain dalam satu program studi/jurusan,
satu fakultas, satu universitas, sesama universitas ex-IKIP, sesama Perguruan
Tinggi se-Indonesia, bahkan dunia, untuk kemudian diproyeksikan ke dalam
berbagai aktivitas yang mendukung prestasi kebanggaannya di antara mahasiswa
lain tersebut. Saat penulis menjadi mahasiswa di UGM tahun 1993-1997, sudah ada
sistem di kemahasiswaan fakultas (dan juga universitas) yang memungkinkan
penulis untuk tampil berbicara sebagai narasumber non-akademik di hadapan
publik (mahasiswa, akademisi, dan berbagai kalangan sesuai tema) untuk
mempresentasikan pemikiran tentang berbagai hal. Penulis juga sempat menjadi
pimpinan redaksi sebuah jurnal filsafat yang dipublikasikan secara nasional.
Itu dua dasawarsa yang lalu. Saat ini, Unesa sudah memiliki beragam “saluran” resmi
yang bisa dipergunakan untuk menuangkan pemikiran mahasiswa tentang berbagai
hal. Ada tabloid GEMA, majalah Unesa, media cetak di level jurusan/fakultas,
maupun buletin. Belum lagi website, blog, maupun media sosial seperti mailing list, facebook, dan sebagainya
termasuk radio. Kemampuan mempresentasikan pemikiran di hadapan publik secara
langsung juga sudah terbuka. Tanpa perlu didorong-dorong oleh dosen, mahasiswa
seyogyanya menyadari peluang dan potensinya untuk diaktualisasikan dengan memanfaatkan
momentum kemandirian intelektualnya secara positif dan berkelanjutan.
Prestasi
mahasiswa “tidak dihargai” dalam program Mahasiswa Berprestasi (MAWAPRES) jika
mereka hanya menjadi peserta seminar internasional, tetapi harus menjadi
pembicaranya; tidak sekedar juara di level Unesa, tetapi antar perguruan
tiinggi se-provinsi atau nasional; tidak cukup hanya menjadi ketua UKM atau
BEM, tetapi mahasiswa harus mampu menggerakkan organisasi yang dipimpinnya
untuk melambungkan dirinya dan teman-teman mahasiswa yang lain untuk berkiprah
sebagai tokoh penting di level regional, nasional, atau internasional.
Kesadaran kritis
bukan sesuatu yang kontraproduktif, namun bisa saja negatif (tergantung apa yang kita yakini). Dia bisa
meletupkan energi dahsyat yang mengubah wajah masyarakat lebih baik (dalam arti
lebih bermoral, produktif, inovatif, efektif, efisien, dan sebagainya).
Kesadaran ini jika dituangkan dalam bentuk karya ilmiah sebagaimana PKM, tentu
bernilai positif dan produktif. Apapun konsekuensinya, kesadaran kritis
sesungguhnya menjadi “otak pendidikan” yang memungkinkan segala fungsi organ
berjalan semestinya dalam tumbuh-kembang bersama realitas di hadapannya.
Kesadaran kritis ini menurut Freire mampu membongkar budaya bisu, artinya,
secara aktif menyuarakan dan memunculkan aksi-aksi positif dan kreatif dalam
menghadapi hegemoni menyejarah dari kuasa-kuasa tradisi yang kadaluarsa. Tentu,
Pancasila sebagai ideologi bangsa yang melandasi pilar bangsa ini, tetap
menjadi jaminan harga mati bagi interpretasi-interpretasi dan aksi-aksi
cendekiawan ber-kesadaran kritis. Kritis bukan untuk anarkis-destruktif, tetapi
kreatif-(re)konstruktif.
Suasana dunia
kampus di Indonesia (termasuk Unesa) awal-awal milenium ketiga, memang lebih
bermuara back to campus, setelah euforia penumbangan orde baru 1998.
Tentu dengan alasan berbeda. Penulis mencermati bahwa back to campus-nya mahasiswa saat ini bukan disebabkan keengganan
larut dalam arus politik sebagai panglima sebagaimana terjadi pasca
penggulingan Soekarno tahun 1966, namun saat ini mahasiswa lebih disibukkan
dengan berbagai tawaran kegiatan produktif-ilmiah baik dari dunia kampus itu
sendiri maupun dari pemerintah atau pihak luar kampusnya (misalnya PKM). Apakah
secara umum mahasiswa sekarang lebih berorientasi intelektual tradisional dan
kurang tertarik memposisikan diri sebagai intelektual organik yang mengajukan
diri bahu membahu bersama komponen masyarakat lain mengatasi berbagai
permasalahan aktual yang ada sebagaimana dikategorikan Gramsci? Agak dini untuk
menjawab tegas hal tersebut. Namun setidaknya, puisi penulis berikut ini (yang
sempat dipublikasikan di notes akun
facebook pribadi penulis) bisa mewakili warning
terhadap ketidakpedulian dan ketidakkonsistenan mahasiswa yang berujung pada
pengkhianat (idealisme) intelektual sebagaimana diperingatkan Karl Mannheim.
Selamat meniti masa muda...
Mahasiswa
Sejati
Sore ini di kampus yang
(kabarnya) merakyat
Puluhan teriak memadati
rapat penat
“kita harus beraksi, karena
besok negeri ini dibantai”
“tumbangkan rezim kotor,
robohkan akar pohon koruptor”
“jangan biarkan mereka
menyela, kita bakar saja”
Lalu satu persatu mereka
kering tenggorokannya
Sore ini di kampus bisu
Tengik mesum bau kotoran
moral
Tercium gelagat khianat
Terkapar pada hegemoni
bisu,
Yang merasuk di hulu
intelek muda bersemangat
Sebab ideologi harus
dihambakan pada kepentingan
Sebab aturan harus disetir
kuasa baru
Dan sebab mahasiswa harus
tidak merasa ditipu
Padahal telah tumbang
mereka oleh sapuan zaman:
“kamu bayar mahal,
segeralah lulus.. kembalikan sawah sapi es-pe-pe-mu”
“kamu ga pa pa jadi
demonstran suruhan, sebab harus ada yang di jalanan”
“kamu jangan julurkan pikiran kritismu, industri
menunggumu patuh”
Maka makarpun berbalik
arah,
Tuhan didongkel dari
singgasana kampus
Matilah mahasiswa yang dulu
berdikari,
Diganti definisi rumit
tentang cinta, dijambak rindu persetubuhan
Diganti kelindan
eksistensial, tentang mau kemana
Diganti tangisan bunda,
melihat tetangga sudah kaya
Diganti ideologi orang
sakti, yang bekerja rahasia membeli nurani di sudut-sudut rasio
Sore ini di kampus gagah
Berdiri lunglai mahasiswa
sejati,
Tak punya tinta dia tak
sanggup menulis darah
Tak punya teman dia merana
Tak punya uang diapun bisu
Dia gumamkan idealismenya,
tanpa suara
Dia langkahkan kaki seoknya,
sendiri
Dia masih punya Tuhan, yang
oleh teman-temannya disingkirkan
“aku mengabdi untuk siapa?”
“maksud baikku kenapa
dicela?”
Dan dia berusaha setia
Duh, kampus megah berdiri
gagah,
Tak ubahnya pabrik manusia
pekerja
Yang teriak pura-pura marah
pada kuasa
Padahal hanya untuk mencari
muka,
Atau tertipu
juragan-juragan tak tersentuh
Menghabisi kaum-kaum yang
ikhlas
Menggantinya dengan remote
control: dunia tak seberapa butuh belas kasihan
Kendali mutu dengan kaku
logika kerontang
“maksud baikku kenapa dicela”,
Karena tak terbeli,
Dan itu harga mati…!
Dilindas transaksi
berkisah-kisah
Sore ini di kampus sendu
Muram wajah tanah saksi
sejarah
Menyaksikan bergugurannya
pikiran-pikiran murni
tumbuh suburnya
kapitalis-kapitalis penerus bangsa
Pancasila dan filsafat,
diajarkan untuk didiskusikan, lantas ditinggalkan
Ilmu-ilmu terapan,
menggilas moral kepedulian
Berbaju demi pembangunan,
kreativitas kompetisi global
Tapi lupa mengancingkan
lubang kemaluan, hingga tampak semangat kerakusan
Mendidik akal, mematikan
hati
Sore ini di kampus milyaran
rupiah,
Gadis dan jejaka berpamer
kebebasan
Menjeritkan semua luka,
tanpa ada yang terluka
Meneriakkan perlawanan
untuk para penjahat bangsa,
(sengaja) lupa dibiayai
oleh siapa dia
“kami ada untuk rakyat”,
tapi rakyat yang mana: yang duduk di balkon glamour
“kami adalah agen
perubahan”, ya, merubah wajah bangsa sesuai selera mereka
Rektor, Dekan, dan pejabat
se universitas, berkumpul mengamini instruksi pengusaha
Yang sudah menitip kuasa di
proyek-proyek suci negeri ini
Lalu siapa yang sejati?
Mahasiswa yang lunglai
tadi.. yang sedang terkapar mati
Sore ini di kampus hiruk
pikuk
Tidak ada yang sadar lagi,
Semaput dalam riuh
internet, gadget, dan diksi-diksi ilmiah
Pulang hanya untuk
mengamini televisi hiperrealitas
“kami kaum bebas” termasuk
bebas meniru
Meniru tiruannya tiruan
dari tiruan tiruan palsu
Disentak tiap saat oleh
pilihan-pilihan sikap
Rumit menghamburkan energi
dunia
Tenggelam dalam kebenaran
zaman (bukan kebenaran asasi)
Sore ini di kampus yang
(kabarnya) merakyat
Perlahan-lahan sepi
Oleh despot dan tirani baru
Mencengkeram tanpa terasa
Menghegemoni tanpa disadari
Karena penguasa baru tahu,
Bahwa menguasai berarti
menyenangkan nafsu
Si mahasiswa sejati
Sudah lama tadi ketemu
Tuhan,,
Sendiri
REFERENSI
DITLITABMAS DIRJEN DIKTI KEMENDIKBUD,
2012, Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Pramono, Made, 2003, Melacak Basis Epistemologi Antonio
Gramsci, dalam Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, edisi 1, Yogyakarta: Ar
Ruzz Media, p. 71-92.
------------, 2003, Menyelami Spirit Epistemologi Paulo
Freire, dalam Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, edisi 1, Yogyakarta: Ar
Ruzz Media, p. 125-146.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Arsip situs website
Dikti:
Arsip situs
website Unesa:
Arsip blog “Penalaran
Unesa”:
Arsip grup facebook “Penalaran Unesa”:
http://www.facebook.com/groups/89808638806
Arsip notes akun
pribadi:
[1] Dr. Made Pramono, S.S.,
M.Hum. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan. Email: made.pramono@gmail.com